BudayaNegriKita.blogspot.com
Copyright © 2010. All rights reserved.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Tari Piring dari Minangkabau


Tari Piring merupakan sebuah seni tarian tradisional yang berumur ratusan tahun. Tarian tersebut berasal dari Solok,Minagkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Awalnya, tari ini dilakukan sebagai ritual guna mengucapkan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa karena mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ia merupakan salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri Sembilan keturunan Minangkabau.


Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut. Bagi menambah unsur-unsur estetika , magis dan kejutan dalam tarian ini, penari lelaki dan perempuan akan memijak piring-piring pecah tanpa rasa takut dan tidak pula luka. Penonton tentu akan berasa ngeri apabila kaca-kaca pecah dan tajam itu dipijak sambil menarik.

Kamis, 12 Agustus 2010

Reog Ponorogo Kesenian Khas Ponorogo

Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reyog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reyog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung, seperti yang tertulis.

Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah. Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal muasal kesenian Reyog Ponorogo.

Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Betoro Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan.

Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reyog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian Reyog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.
Ada juga yang bilang bahwa reyog Ponorogo ini menceritakan Ki Kutu Suryongalam yang merupakan Demang Ponorogo yang dianggap disersi karena berani mengkritik dan beroposisi dengan Bre-Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit waktu itu. Kutu melihat bersemainya Demak yang ditopang oleh kalangan Islam merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan Majapahit.

Nasehat Kutu ini justru dianggap fitnah oleh Brawijaya V yang telah termakan oleh bujuk rayu Dewi Campa (seorang putri Cina yang dipersembahkan kepada Brawijaya dari pihak Demak). Dewi Campa memang ditugaskan oleh Demak untuk melakukan Islamisasi terhadap Kerajaan Majapahit. Akibat pertimbangan yang diberikannya itu, maka Kutu menuai hukuman politik dan harus dimusnahkan.

Namun begitu, Kutu tak patah arang, ia membangun basis pertahanan lokal sekaligus mengkritik Brawijaya V dengan mencipta reyog. Tampilan reyog yang menggambarkan kepala harimau yang berbalut bulu merak menandakan bahwa Brawiajaya V tak berkutik diketiak Dewi Campa. Sedang barisan Jathil (pasukan berkuda) yang bersifat femenin mengilustrasikan bahwa prajurit Majapahit bak perempuan yang tak bernyali untuk menggempur Demak Bintoro.

Singkat cerita, saat Majapahit runtuh oleh Demak, maka Demak juga menghabisi Kutu. Pasukan Demak yang dipimpin Katong berhasil menduduki Ponorogo. Selanjutnya mitos mitos reyog Kutu dikemas ulang oleh Katong yang menceritakan iring ringan Prabu Klana Sewandono (Wengker) hendak mempersunting Dewi Songgolangit (Kediri). Nafas satiris dalam mitos mitos reyog Kutu dengan sengaja dilenyapkan oleh Katong, sebab antara Katong dan Brawijaya V ternyata hubungan bapak-anak. Karena Katong sebagai pemangku sejarah yang dominan dan berkuasa, maka berlakulah hukum kekuasaan, yakni yang menang yang akan membentuk sejarah.

Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reyog Ponorogo bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah kelahirannya saja. Biasanya satu group Reyog terdiri dari seorang wWarok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.

Kedasyatan Reyog Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa sempat membuat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an untuk mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra cabang kesenian Reyog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada pemilu. Kemudian Bren Barisan Reyog Nasional atau BRP atau Barisan Reyog Ponorogo milik Tegak. Hal ini membuat Reyog Ponorogo dalam perkembangannya nyaris tiba jurang kematian.
Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP dibubarkan dan imbasnya membuat Reyog-Reyog lain ikut ujungnya. Ribuan unit Reyog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput.

Beruntung di akhir 1976, Reyog Ponorogo kembali dihidupkan dengan pendirian INTI (Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini, banyak pelaku seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah Reyog menjadi milik rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan tertentu. Reyog Ponorogo terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah pengembangan bentuk dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan. Terutama dengan menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian Reyog dalam bentuk konterporer. Ini soal kesenian yang terlanjur dicap berbau mistis ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival rutin tahunan terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan kesenian itu sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reyog Ponorogo.

Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reyog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian Reyog. Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.



Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan minuman keras dan dunia preman.

Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju kesana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga.

Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman Reyog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.

Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri . Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.

Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reyog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.

Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban darak merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 40-an kilogram selama masa pertunjukan.

Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.

Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan kelangsungan kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan membuat pemuda di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berReyog. Apalagi menjadi pembarong. Namun kini telah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit demi sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional. Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan cedera.

Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan meninggalkan profesinya.
Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal penggunaan kekuatan gaib dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional.

Source : http://sanggarsenitradisionalindonesia.blogspot.com

Asal Usul Kesenian Jatilan


Asal usul jatilan, jatilan adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang ini dapat dijumpai di daerah-daerah Jawa.

Mengenai asal-usul atau awal mula dari kesenian jatilan ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam hal ini, ada beberapa versi tentang asal-usul atau awal mula adanya kesenian jatilan ini, diantaranya adalah sebagai berikut. Konon, jatilan ini yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda.

Pagelaran kesenian ini dimulai dengan tari-tarian oleh para penari yang gerakannya sangat pelan tetapi kemudian gerakanya perlahan-lahan menjadi sangat dinamis mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Gamelan untuk mengiringi jatilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.

Di samping para penari dan para pemain gamelan, dalam pagelaran jatilan pasti ada pawang roh yaitu orang yang bisa “mengendalikan”roh-roh halus yang merasuki para penari. Pawang dalam setiap pertunjukan jatilan ini adalah orang yang paling penting karena berperan sebagai pengendali sekaligus pengatur lancarnya pertunjukan dan menjamin keselamatan para pemainnya. Tugas lain dari pawang adalah menyadarkan atau mengeluarkan roh halus yang merasuki penari jika dirasa sudah cukup lama atau roh yang merasukinya telah menjadi sulit untuk dikendalikan.

Selain melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti suara gamelan pengiring, para penari itu juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Di antaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Atraksi ini dipercaya merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan Jawa, dan merupakan aspek nonmiliter yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

 Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional jatilan ini seringkali juga mengandung unsur ritual karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang atau dukun melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin pada yang menguasai tempat tersebut yang biasanya ditempat terbuka supaya tidak menggangu jalannya pagelaran dan demi keselamatan para penarinya.

Pagelaran ini seperti pagelaran seni yang lainnya yang umumnya mempunyai suatu alur cerita. Jadi biasanya jatilan ini membawakan sebuah cerita yang disampaikan dalam bentuk tarian. Saat ini tidak banyak orang yang melihat pertunjukan seni dari sisi pakem bentuk kesenian tersebut melainkan dari sisi hiburannya, yang mereka lihat dan lebih mereka senangi adalah bagian dimana para pemain jathilan ini seperti kerasukan dan melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Jadi masyarakat melihat Jathilan sebagai sebuah pertunjukan tempat pemain kerasukan. Bukan sebagai pertunjukan yang ingin bercerita tentang suatu kisah.

Kesenian jatilan yang dipertunjukan pada upacara adat Mbah Bergas diawali dengan kesenian warok-warokan, yaitu suatu bentuk kesenian yang berjudul Suminten Edan”. Lakon ini bercerita tentang Suromenggolo yang mempunyai anak bernama Cempluk. Suromenggolo mempunyai saudara seperguruan yang bernama Surobangsat. Surobangsat dan Suromenggolo telah lama tidak berjumpa sehingga ia mengunjungi Suromenggolo. Surobangsat mempunyai anak yang bernama Gentho. Surobangsat bermaksud menjodohkan Gentho dengan cempluk. Namun Suromenggolo tidak setuju. Kemudian terjadilah pertarungan antara keduanya. Surobangsat kalah setelah Suromenggolo mengeluarkan aji-aji pamungkas yang berupa kolor.

Setelah pertunjukan warok-warokan selesai, dilanjutkan dengan pertunjukan tarian oleh pasukan buto yang berjumlah sepuluh orang penari. Tarian ini sebagai kreasi atau sebagai perkembangan dari pertunjukkan jatilan untuk lebih memeriahkan pertunjukan jatilan dan menarik perhatian warga untuk menyaksikan. Gerakan-gerakan tarian ini sangat dinamis dan enerjik, gerakan yang serempak para penari membuat para penonton terpesona.

Aksesoris yang dipakai para penari antara lain gelang kaki, gelang tangan, dan topeng buto yang berwujud hewan-hewan seperti harimau, domba, dan singa. Gerakan yang sangat cepat dan lincah dari para penari membuat gelang kaki yang mereka pakai menimbulkan irama yang rancak.

Setelah pertunjukan tarian buto selesai kemudian dilanjutkan tarian jatilan. Jumlah penari jatilan ada sepuluh orang. Aksesoris yang digunakan antara lain gelang tangan, gelang kaki, ikat lengan, kalung (kace), mahkota (kupluk Panji), dan keris. Makna dari busana dan aksesoris yang digunakan adalah meniru tokoh Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik. Dalam pertunjukan jatilan ini juga ada tiga pawang yang bertugas untuk mengatur, menjaga dan menjamin lancarnya pertunjukan, pawang-pawang ini juga bertugas untuk menyadarkan para penari yang kerasukan.

Dalam pertunjukan jatilan juga disediakan beberapa jenis sesaji antara lain pisang raja satu tangkep, jajanan pasar yang berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yaitu tumpeng robyong yang dihias dengan kubis, dawet, beraneka macam kembang, dupa Cina dan menyan, ingkung klubuk (ayam hidup) yang digunakan sebagai sarana pemanggilan makhluk halus dan lain-lain.

Jatilan yang ditampilkan dalam upacara adat Mbah Bergas merupakan sajian dari Paguyuban Kesenian Kuda Lumping Putra Manunggal. Paguyuban ini didirikan sekitar pada tahun 1992. Para penari jatilan berserta penabuh gamelan kurang lebih berjumlah empat puluh orang. Mereka berlatih setiap satu bulan sekali pada pertengahan bulan (biasanya pada malam minggu). Cerita yang disajikan adalah mengadopsi dari Jatilan klasik, yaitu tentang cerita tokoh Kresna. Sedangkan pada warok-warokan selain menampilkan cerita “Suminten Edan” juga mengambil cerita dari babad-babad Jawa, antara lain perang Prabu Baka dengan para Buto.

source : http://rudisony.wordpress.com

Tari Pendet, Tari Pemujaan Dari Bali


Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.

Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

source : http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Pendet

Perbedaan Batik Tulis dan Batik Cap


Perkembangan batik pada masa sekarang cukup menggembirakan, hal ini berdampak positif bagi produsen batik-batik di berbagai daerah. Permintaan batik tulis maupun batik cap sangat tinggi sekali, walaupun kebutuhan pasar batik tersebut sebagian sudah dipenuhi dengan tekstil bermotif batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tekstil yang bermodal besar. Beberapa pengrajin batik menghendaki untuk pembayaran di muka agar produksinya bisa lancar dan pembeli akan segera menerima pesanan yang diminta, hal ini mengingatkan pada masa tahun 70-an dimana pada waktu itu batik juga mengalami permintaan yang cukup lumayan jumlahnya.

Perbedaan batik tulis dan batik cap bisa dilihat dari beberapa hal sbb:

Batik Tulis



1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
7. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs.
8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.

Batik Cap



1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal.
6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.

Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:

* Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
* Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
* Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
* Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
* Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
* Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
* Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.

Source : http://netsains.com/2008/07/perbedaan-batik-tulis-dan-batik-cap/

Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung


Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung didirikan pada tahun 1987 oleh sekelompok orang yang bertekad melestarikan gedung-gedung di Bandung, Lingkungan serta Budayanya.

Telah bergabung lebih dari 500 anggota yang berasal dari berbagai latar belakang dan profesi sebagai partisipan dan simpatisan Paguyuban dan sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan sukarela.

Paguyuban percaya bahwa identitas Bandung, yang diperoleh dari budayanya yang khas, adalah milik yang paling beharga kota ini dan karena itu perlu diperkokoh keberadaannya.

The Bandung Society for Heritage Conservation was established in 1987 by a group of people who were interested in the conservation of Bandung building’s environment and culture.

It now has over 500 members from different fields and profession, and is funded largely by voluntary contributions.

The society believes that the identity of Bandung, which is derives from its unique culture and heritage, is the city’s most important preserve, and therefore needs to be strengthened and enhanced.

I. Profil

Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau Bandung Heritage adalah sebuah lembaga Swadaya Masyarakat bersifat non-profit yang didirikan sejumlah orang dalam bidang tertentu dalam rangka melestarikan budaya Kota Bandung khususnya bangunan-bangunan bersejarah, yang kemudian mulai membentuk paguyuban ini atas dasar kecintaannya pada Kota Bandung.

II. Maksud Dan Tujuan

* Meningkatkan usaha-usaha atau program-program pelestarian warisan budaya pada tingkat nasional pada umumnya. Hal ini disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah mengenai perlindungan cagar budaya nasional.
* Mencegah kemusnahan atau hilangnya warisan budaya sebagai, suatu usaha pencagaran keberadaannya warisan budaya dari jaman ke jaman di bumi Indonesia ini.
* Menciptakan pelestarian dan pencagaran warisan budaya yang memiliki nilai-nilai kepribadian nasional serta menjadikan budaya daerah lebih berkepribadian nasional serta menjadikan budaya daerah lebih berkepribadian.
* Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengolah, memelihara dam melestarikan lingkungan alam sebagai nilai-nilai luhur warisan bagi penerus bangsa.


III. Tujuan

* Membantu untuk meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian warisan budaya, budaya dan lingkungan alamnya.
* Menciptakan lingkungan yang serasi, seimbang dan sejahtera, dengan ikut aktif dalam mencapai sasaran terciptanya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
* Mengadakan kegiatan professional untuk mengisi tujuan paguyuban yang erat kaitannya dengan pelestarian budaya dan lingkungan alam untuk tujuan pendidikan, penelitian dan inspirasi pembangunan.
* Menciptakan kerjasama yang erat antar anggota yang terhimpun dalam wadah Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung.

Source : http://www.bandungheritage.org/

Sejarah Batik


Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009. Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik".

Sejarah Tehnik Batik

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

source : http://id.wikipedia.org

Pelestarian Budaya Tradisional Melalui Layar Kaca

Oleh : Fachri Siradz

Belum lama kita menghadapi masalah yang cukup menghebohkan lantaran budaya tradisional negeri kita tercinta ini dianggap telah dicuri oleh salah satu negeri tetangga. Semisal batik, angklung hingga lagu-lagu rakyat. Pencurian budaya tradisional itu menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang tidak rela budaya mereka diakui sebagai milik negara lain.

Namun permasalahan itu juga membuat kita tersentak bahwa selama ini ternyata kita telah mengabaikan budaya tradisional sendiri sehingga kecolongan oleh bangsa lain yang lebih pandai memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Apakah kita memang patut dipersalahkan karena ternyata gagal memelindungi budaya bangsa sendiri? Sebenarnya tidak mudah menjawab pertanyaan itu.

Sebab kehidupan manusia sendiri tidak pernah statis dan pada seiring waktu akan selalu mengalami perubahan sosial termasuk pula budaya yang menurut Selo Soemardjan dan Soleiman Soemardi dari FISIP-UI adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sehingga mau tidak mau kita akan mengalami perubahan dari budaya lama menjadi budaya baru yang mungkin sebagian atau seluruhnya berbeda dari sebelumnya.

Jika pada zaman dahulu perubahan budaya biasanya terjadi dalam waktu lama dan gradual, namun pada zaman yang kian modern berkat kemajuan teknologi dan juga globalisasi dalam segala aspek kehidupan manusia di bumi ini sehingga perubahan budaya terjadi cukup cepat dan tidak jarang radikal. Tidak heran jika di Indonesia pun terjadi kegamangan budaya karena intervensi budaya modern dari luar yang makin gencar.

Selain itu, generasi muda kita sebagai produk modernisme semakin kurang tertarik terhadap hal-hal yang berbau tradisi karena dianggap kuno, ketinggalan zaman dan hanya milik generasi tua belaka. Menghadapi keadaan itu, pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang peduli sebenarnya tidak tinggal diam. Karena bagaimanapun budaya tradisional patut dilindungi dan dilestarikan.

Apalagi jika menurut Drs. Tashadi, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bahwa dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global, dan hilanglah jati diri bangsa Indonesia ini. Masalahnya upaya-upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya tradisional sampai saat ini tidak begitu mudah dilakukan di tengah serbuan budaya modern dari luar.

Selain masalah internal seperti kurang ketertarikan masyarakat Indonesia terutama generasi mudanya dan upaya pelestarian yang belum terasa gaungnya, juga terjadi masalah eksternal. Seiring dengan perkembangan zaman modern produk budaya bukanlah milik kolektif seperti ketika masa agraris melainkan milik individualis atau sekelompok etnis. Oleh karena itu, segala produk budaya termasuk kesenian kontemporer maupun tradisional pun diberi cap milik individu atau sekelompok masyarakat, bahkan sebuah bangsa.

Nah, ketika masyarakat kita lalai memberi cap tersebut pada produk budaya sendiri, terjadilah pencurian budaya oleh bangsa lain yang kemudian diklaim sebagai produk budaya bangsa tersebut. Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, harus ada perlindungan budaya yang lebih jelas maka diperlukan sebuah undang-undang yang khusus untuk perlindungan karya budaya tradisional. Keanekaragaman budaya Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis itu harus bisa dipatenkan agar tidak dicuri oleh bangsa luar untuk kepentingan sendiri.

Di samping itu, walau tidak mudah upaya-upaya pelestarian budaya kita harus tetap gencar dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pementasan-pementasan seni budaya tradisional di berbagai pusat kebudayaan atau tempat umum yang dilakukan secara berkesinambungan. Upaya pelestarian itu akan berjalan sukses apabila didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan adanya sosialisasi luas dari media massa termasuk televisi. Maka cepat atau lambat, budaya tradisional kembali akan bergairah

Indosiar sebagai stasiun televisi yang peduli budaya tradisional sebenarnya telah lama melakukan upaya pelestarian tersebut, bahkan sejak awal Indosiar berdiri. Pemirsa setia Indosiar tentu masih ingat tayangan dini hari pada akhir pekan beberapa waktu lalu yang menyajikan wayang kulit, kesenian tradisional dari pesisir Jawa Tengah. Saat itu para penggemar wayang kulit yang tadinya sukar menyaksikan kesenian kesayangan mereka itu karena langkanya pementasan di berbagai tempat dan juga jauh dari tempat tinggal, akan mudah menikmatinya di layar kaca tanpa harus beranjak dari rumahnya.

Saat itu, pencinta wayang kulit dapat menyaksikan bagaimana pertunjukan oleh dalang Ki Manteb Sudarsono yang terkenal sebagai dalang setan karena sabetannya. Selain itu, di layar kaca Indosiar pernah hadir beraneka ragam tayangan budaya tradisional lainnya seperti wayang golek dari Sunda yang dipertunjukkan oleh dalang Asep Sunandar Sunary dan kesenian ludruk modern Srimulat yang didukung oleh Basuki (alm), Timbul, Tessy, Asmuni (alm), Bendot (alm), Gogon, Kadir dan sebagainya. Bahkan Indosiar pernah menayangkan kesenian ludruk yang masih tradisional oleh Ludruk Bintang Timur pimpinan seniman Kirun pada tahun 2003.

Tidak hanya itu, Indosiar juga pernah secara rutin menayangkan kesenian ketoprak yang digarap oleh kelompok ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, Ketoprak Wahyu Budoyo dan Ketoprak Mataram dari Yogyakarta. Memang tayangan-tayangan kesenian tradisional di layar kaca Indosiar sempat absen beberapa waktu karena sesuatu hal, namun Indosiar tidak pernah lupa bahwa salah satu misinya adalah pelestarian budaya bangsa. Oleh karena itu, suatu saat Indosiar akan kembali menayangkan beraneka ragam tayangan budaya tradisional untuk pemirsa setianya.

 
Powered by Blogger